Subscribe RSS

Mungkin anda sering bertanya-tanya, mengapa si A dalam waktu singkat usahanya berkembang begitu pesat? Atau si B dalam waktu singkat punya cabang begitu banyak? Jawabannya adalah karena faktor kali (multiplier effect).

Usaha yang lambat biasanya karena sistimnya masih menggunakan factor penjumlah misalnya 2 + 2 = 4, 4 + 4 = 8, 16 + 16 = 32. Ini juga bisa maju, tapi agak lebih lambat. Tapi bila Anda punya usaha yang memiliki faktor kali akan jadi seperti ini: 2 x 2 = 4, 4 x 4 = 16, 16 x 16 = 256. Jauh lebih besar hasilnya.

Usaha apa contohnya yang memiliki faktor kali? Semua usaha punya factor kali. Cuma jenisnya berbeda-beda. Misalnya usaha rumah makan, salah satu faktor kalinya adalah lokasi yang ramai. Lihat saja restoran McDonalds di Sarinah Thamrin menjadi 10 besar paling ramai di dunia karena faktor kalinya adalah lokasi yang strategis dan ramai.

Usaha eceran faktor kalinya adalah lokasi yang ramai dan banyaknya jumlah cabang. Usaha grosir faktor kalinya adalah pelanggannya yang membeli dalam jumlah banyak dan berulang-ulang.

Hanya itu? Masih banyak lagi. Misalnya publikasi, iklan, promosi, tenaga sales. Berikut ini uraiannya.

*Menggunakan Publikasi*

Ingat dengan ayam bakar Wong Solo? Restoran ini “meledak” omsetnya gara-gara seorang seorang wartawan menulis berita tentang usaha ayam bakar yang saat itu masih di kaki lima di kota Medan dengan judul “Sarjana Menjual Ayam Bakar”. Jadi tulisan di koran itu telah menjadi faktor kali. Memang pemiliknya Puspo Wardoyo pintar sekali memanfaatkan publikasi seperti mengadakan Poligami Awards, membuat menu Jus Poligami.

Contoh lain: jaringan bisnis MQ Corporation milik AA Gym dengan publikasi dari segi spiritual, The Body Shop dengan publikasi dari segi kepedulian lingkungan hidup, Moamar Emka dengan buku Jakarta Undercover, Dewi Lestari dengan buku Supernova.

*Menggunakan Iklan atau Promosi*

Baru-baru ini saya melihat langsung toko roti baru namanya BreadTalk di Mal Taman Anggrek. Saya saksikan pembelinya rela antri sampai hampir sepuluh meter untuk membeli roti yang katanya lebih enak itu. Kenapa bisa begitu ramai sementara toko roti lain di tempat yang sama tidak seramai itu? Karena faktor kali dari iklan dan promosi di Metro TV dengan menggunakan para artis ternama. Iklan tersebut menggugah rasa ingin tahu penonton untuk mencobanya.

Contoh lain: DRTV.

*Menggunakan Tenaga Pemasaran/Sales*

Anda tahu jaringan toko kredit Columbia? Kebetulan saya sendiri kenal dengan pemiliknya, Bapak Leo Chandra. Katanya, tahun lalu omsetnya mencapai Rp. 1,2 trilyun. Apa kiatnya? Dia tidak menggunakan iklan atau membuka outlet di lokasi yang ramai dan strategis. Tapi dia menggunakan 20.000 tenaga sales di seluruh Indonesia.

Toko-toko sepatu di PIK Pulo Gadung juga menerapkan hal serupa, yaitu dengan menggunakan tenaga pemasar lepas (freelance) yang dibekali dengan brosur dan katalog gambar produk. Jadi, para pembeli tinggal memilih melalui katalog tersebut.

Contoh lain: perusahaan network marketing/MLM, kartu kredit Citibank, bahkan partai seperti Partai Keadilan Sejahtera juga menggunakan strategi pemasaran langsung (direct selling). Saat dalam Pemilu 1999 dengan 15.000 kader yang mentargetkan 1 orang menggaet 20 orang pemilih, partai ini berhasil mendapat 1.4 juta suara. Saat ini dengan sistim pendekatan yang sama telah terkumpul 400.000 kader. Berapa nanti perolehan suaranya di tahun 2004 bila 1 orang kader menggaet 20 pemilih?

*Menggunakan Tokoh atau Model*

Baterai ABC menguasai 90% lebih pangsa pasar baterai di Indonesia. Saat saya berkunjung ke pabriknya di Daan Mogot bulan Desember tahun lalu, Ibu Herlili Sumampouw, manajer periklanannya membuka rahasia bahwa salah satu faktor kalinya adalah dengan menggunakan orang-orang cebol dan petinju Evander Holyfield. Mereka menggunakan orang-orang cebol sejak tahun 70-an yang disuruh menari-nari di arena Pekan Raya Jakarta. Hasilnya, omset penjualan baterai ABC naik seperti roket, katanya.

Begitu juga saat memperkenalkan Baterai ABC Alkaline, tadinya ABC tidak dikenal sebagai produsen baterai alkaline sebelum menggunakan model iklan petinju kelas berat Evander Holyfield. Seorang model atau tokoh memiliki banyak penggemar, inilah faktor kalinya.

*Membuka Cabang Sebanyak Mungkin*

Untuk usaha eceran/retail, inilah faktor kalinya. Alfa Mart adala contohnya. alam waktu singkat bisa menyamai jumlah cabang Indomaret yang sudah lebih lama di bisnis ini. Dengan agresif mereka terus membuka cabang dengan cara waralaba yang lebih fleksibel daripada Indomaret. Caranya, bila si calon partner itu hanya punya lahan dan bangunan tanpa modal kerja, Alfamart siap mengisi barang. Faktor kali untuk usaha eceran tidak hanya itu, bisa juga dengan cara menitipkan barang di outlet-outlet.

*Menjual Secara Grosir*

Untuk usaha grosir, faktor kalinya tidak perlu dengan membuka banyak toko. Tapi dengan mencari banyak pedagang yang membeli dalam jumlah banyak secara berulang-ulang. Ini bisa dilihat di toko-toko di Tanah Abang, Pasar Anyar Bogor atau Cipulir. Rata-rata mereka memiliki pelanggan tetap yang secara rutin berbelanja.

Misalnya satu toko memiliki 20 pelanggan yang rata-rata berbelanja Rp. 2 juta per bulan, total per tahun menjadi Rp. 480 juta. Usaha grosir ini akan terus berkembang sesuai dengan perkembangan usaha para pedagang langganan tersebut dan bertambahnya pelanggan baru. Adakah para pelanggan yang memiliki lebih dari satu toko? Tentunya ada, bahkan ada yang
memiliki 10 toko. Inilah faktor kalinya.

*Menggunakan Internet*

Jeff Bezos adalah salah orang terkaya di Amerika saat ini. Dia meraihnya dalam waktu kurang dari 10 tahun. Dia adalah pendiri situs belanja buku di internet Amazon.com yang menjual buku secara online kepada para pelanggan di seluruh dunia. Dalam waktu singkat Amazon telah mengalahkan toko buku terbesar di Amerika yang sudah berdiri puluhan tahun, Barnes and Noble. Saya pribadi juga telah menggunakan media ini sejak September tahun lalu.

Hasilnya di luar dugaan. Dalam waktu 3 bulan pengunjung yang datang diwebsite sudah hampir 1.000 orang dengan omset yang lumayan. Bahkan telah berhasil mendapatkan agen/distributor di beberapa daerah di Indonesia. Apa faktor kalinya? Karena saya berkawan dengan Mr. Tung Desem Waringin, seorang pembicara seminar yang telah berbicara di hadapan lebih dari 60.000 orang dan siaran talk show di radio Smart FM yang mempunyai jaringan di 7 kota di Indonesia.

Di setiap kesempatan dia selalu menyebutkan alamat situs internet kami. Di samping itu, internet diakses oleh orang di seluruh dunia, tanpa batas wilayah dan waktu. Perkembangan bisnis di internet ini patut kita antisipasi. Peluangnya sangat, sangat, sangat besar.

*Apakah faktor kali hanya untuk bisnis saja?*

Tidak. Penggunaan faktor kali tidak melulu untuk tujuan bisnis saja. Seorang dosen yang biasanya hanya bisa berbicara di depan mahasiswa bisa menggunakan media lain untuk meraih audiens yang lebih besar. Misalnya dengan menulis buku, mengadakan seminar, membuat kaset/CD, membuat situs internet, siaran di TV atau radio. Contohnya adalah Rhenald Kasali, Roy Sembel (dosen, ahli keuangan). Seorang atlit yang sebelumnya adalah atlit lokal bisa meningkatkan faktor kalinya dengan mengikuti pertandingan dengan skala nasional atau internasional. Seorang da’i seperti Aa Gym paling ahli memanfaatkan faktor kali ini. Dia membuat faktor kali melalui tabloid,radio, televisi, internet, buku, VCD dan lain-lain. Inul Daratista menjadi begitu fenomenal setelah tampil di televisi. Padahal sebelumnya dia hanya bernyanyi dari kampung ke kampung.

*Kesimpulan*

Dari beberapa contoh di atas, intinya adalah bagaimana dalam meningkatkan usaha kita selalu mencari faktor kali. Sekali lagi FAKTOR KALI. Mudah-mudahan tulisan ini menjadi inspirasi bagi anda. Mohon maaf, bukan saya ingin menggurui, tapi ingin berbagi ilmu dan pengalaman yang tentu saja banyak kekurangannya. Mudah-mudahan tulisan ringan ini ada manfaatnya.

Category: | 0 Comments

Dalam satu perbincangan dengan member senior TDA, saya diingatkan kembali tentang betapa euforia kewirausahaan saat ini adalah kopong (fundamentalnya tidak ada). Saya terkejut, apa itu Pak ? ya, karena sebagian besar baru level motivasi, baru ribut-ribut diurusan pindah kuadran. Ada kesenjangan yang luar biasa antara mereka yang baru memulai dengan yang sudah dicitrakan sukses bisnisnya.

Yang baru memulai, terlalu banyak kekenyangan jargon-jargon motivasi, terlalu sering ikut acara fantastis penuh cerita sukses, gairah kewirausahaannya meluap-luap saat hadir diacara. Tetapi kebingungan ketika sampai dirumah. Sementara yang sudah sukses sibuk menebar pesona cerita sukses, tanpa disadari sebenarnya mereka sangat jarang menceritakan apa kunci sukses mereka. Semua yang tampak adalah kulit luar yang indah saja.

Saya makin bertanya, jadi fundamentalnya sebenarnya apa Pak ? fundamentalnya adalah pengetahuan teknis soal bisnis, secara lebih khusus soal manajemen. Saya ditanya coba terangkan secara berurutan, bagaimana caranya meluncurkan produk baru, dari A sampai Z ! Saya jelas kelagapan, karena saya memang tidak tahu teknis ilmu bisnisnya.

Saya ditegur, harusnya Anda lebih dalam mempelajari teknis bisnis, karena setelah sukses memulai, Anda harus sukses mengelola dan membesarkan. Lalu sukses konglomerasi ! Waks ?? Saya diingatkan kembali untuk kembalilah menjadi mahasiswa jurusan bisnis.

Betul, saya rasa bagi yang ingin memulai, coba berhentilah ber-motivasi ria … saatnya belajar dari buku yang basic, yang mendasar. Jangan melulu membaca buku “Cara Edan Jadi Pengusaha” atau “Cara Cepat Kaya Raya” atau “Sukses Bisnis Modal Lutut” … itu semua adalah bunga-bunga euforia kewirausahaan.

Pengetahuan teknis bisnis sangat mudah didapat. Bagi yang pernah kuliah di fakultas ekonomi, buku terjemahan “Pengantar Bisnis (Introduction to Business) – buku 1 & 2” pasti pernah dibahas. Juga buku “Kewirausahaan – buku 1 & 2”, pasti juga pernah dibahas. Semua buku-buku ini membahas secara detil aspek-aspek bisnis. Banyak sekali pertanyaan para pemula bisnis yang sudah ada jawabannya di buku ini. Banyak yang bilang, buku-buku seperti ini sangat tidak menraik, karena tidak INSTANT !

Saya bertanya, tapi Pak, itu khan buku mahasiswa ? teoritis, bertele-tele ? jawabannya jelas tidak. Saya ditanya, kamu khan kuliah teknik, pernah bekerja di perusahaan, punya wawasan kerja dan sedikit manajemen. Kamu pasti berbeda dengan mahasiswa. Mahasiswa baca buku untuk lulus ujian, jelas berbeda kalau kita yang baca. Kita baca buku teori itu dengan pisau pemikiran yang lebih tajam, karena kita sudah menjadi pelaku bisnis, bukan mahasiswa bisnis. Sangat berbeda perspektifnya. Saya dianjurkan terus membaca buku-2 manajemen dan marketing.

Satu pertanyaan lagi, tapi Pak apa betul kalau jadi pengusaha harus tahu detil soal bisnis ? apakah nantinya malah kita “in business (didalam bisnis)” ??? saya khan cita-cita punya bisnis tanpa kehadiran kita ??? …

Gundulmu !!! kamu itu keblinger sama definisi Brad Sugars ! yang kamu masukkan dalam pikiranmu cuman “ongkang-ongkang setelah bisnis jalan sendiri tanpa kehadiran kita” cuman itu khan ? jelas sekali kamu ngga memasukkan dalam pikiran-mu, bahwa syarat utama kamu bisa “meninggalkan bisnis”, adalah bisnismu harus sudah bisa berjalan sendiri dan sudah menghasilkan keuntungan !!! lha kamu ? mempelajari dan bikin sistem-nya aja belum, untung layak aja belum, sudah mikir ongkang-ongkang-nya duluan ….

sumber : http://mohamadrosihan.blogspot.com

Category: | 0 Comments

Suatu siang dikantor SAQINA.COM, saya kedatangan tamu kawan dari TDA. Hari ini, kawan ini berniat bersilaturrahmi, dan mengabarkan, bahwa hari ini adalah hari pertama dia menuju TDA. Alias sudah sudah resign kemarin. Saya ucapkan dengan tulus, Selamat Berjuang. Suasana penuh semangat, ingin segera action atas segala rencana untuk menjadi entrepreneur. Asik yaa, saya selalu terharu dengan suasana semangat itu. Semua rencana dikabarkan. Semua proses yang akan dilalui dicoba dikonsultasikan.

Semasa menjadi karyawan, kawan kita ini ternyata kompetensinya luar biasa. Pengalaman kerja 6 tahun di industri consumer goods, karir dimulai dari bawah, merangkak sampai level management. Ia paham produksi, manajerial juga marketing. Ia pernah punya tanggung jawab membangun outlet-outlet ritel perusahaan. Ia sudah terbiasa dengan semua model perencanaan, kalkulasi bisnis, setting target, strategi pelaksanaan, pembangunan outlet, penyiapan karyawan, membuat dan men-training SOP, promosi bahkan sampai monitoring oulet sampai running well dan juga pelaporan. Suatu pengalaman kerja yang terintegrasi yang tidak semua bekas karyawan pernah mengalaminya.

Lalu, kita mulai membicarakan rencana wirausaha yang akan dijalaninya. Saya terkaget-kaget. Dia seperti mau berjalan tanpa pengetahuan. Ingin mencoba dulu beberapa bentuk usaha. Katanya takut gagal diawal. Tanpa business plan, tanpa berani menentukan target awal. Padahal dia tahu betul, untuk masuk dengan produk baru, harus riset market, harus menentukan STP (Segmentasi, Targeting & Positioning) dulu. Untuk memulai langkah, dia harus menentukan semua target cost-nya, juga berapa target laba-nya. Setiap langkah operasional harus ada target-nya. Setiap target yang harus dicapai, harus disiapkan semua perangkat pendukungnya, infrastruktur bisnisnya, SDM-nya, strateginya, dll-nya.

Lha kenapa jadi entrepreneur malah jadi berpikir terbalik ? kenapa jadi gagap business plan ? kenapa jadi takut menentukan target ? kenapa jadi bingung ketika harus mem-break-down infrastruktur bisnis apa saja yang harus disiapkan ? kenapa tidak berani menentukan target laba ? kenapa jadi gagap strategi pemasaran ? Kenapa kalau ditanya soal hasil jawabnya selalu “ya kita lihat saja nanti, namanya baru mulai, baru mencoba” ? Kenapa jadi takut bergerak bebas terencana dan terstruktur ketika Anda bisnis menggunakan Uang Anda Sendiri ??? Hayooo ….

Terus segala pengetahuanmu selama jadi karyawan kamu kemanain ??? kamu jangan tiba-tiba merasa memasuki dunia baru. Menjadi entrepeneur itu baru bagimu, tapi soal ilmu, Entreprenership itu Jadul !!! ilmu itu sudah ada sejak dulu. Bukan lahir kemarin sore. Semua ilmu yang kamu pahami di bekas perusahaan-mu itu sudah hampir 90% ilmu entrepreneurship untuk membesarkan bisnis perusahaan. Harusnya kamu bisa menentukan target dulu, baru secara mundur kamu mengisi semua hal infrastruktur yang diperlukan dalam mencapai target itu.

Selama ini memang ilmu entrepreneurship terkurung di perusahaan-2, terperangkap di sekolah-2 manajemen. Jadi ketika euforia entrepeneurship lagi hot, seakan-akan buku-buku2 entrepreneurship yang ada sekarang ini mengusung ilmu baru. Padahal muara menjadi entrepreneur itu ya punya perusahaan, menjadi konglomerat, lalu cukup menjadi Investor. Bicara evolusi bisnis, dari bisnis mikro dimulai menjadi bisnis kecil, menengah lalu besar menjadi Korporasi ! Setelah menjadi korporasi, ya berkutat di masalah-2 korporasi. Dan itu semua sudah puluhan tahun lalu ada.

Pendiri dan Pemilik bekas perusahaan-mu bekerja, itu sudah hampir menyelesaikan semua perjalanan menjadi entrepreneur ! namun tetap ingin terus tumbuh ! karena tidak ingin perusahaannya mati. Makanya mereka semua ingin karyawan level manajemen mempunyai jiwa INTRA-preneurship ! supaya perusahaan terus tumbuh.

Tahun ke-1 s.d ke-3 mungkin kamu coba-coba usaha. Tahun ke-3 kamu sudah yakin ada salah satu bisnismu yang yakin bisa kamu besarkan. Tahun ke-4 dan 5 bisnis-mu berkembang. Tahun ke-6 s.d 8 kamu sibuk menata manajemen, mulai merekrut karyawan-2 kunci, tanpa sadar bisnismu menjelma menjadi korporasi. Tahun ke-9 dan 10 kamu sudah sibuk mengembangkan kompetensi Manajemen Perusahaan-mu untuk terus berkembang. Makin banyak karyawan yang kamu rekrut dan kamu kirim ke Lembaga Training Manajemen. Dan seterusnya. Semua itu siklus itu sudah dilakukan oleh semua pendiri, pemilik dan diteruskan oleh karyawan manajemen-nya.

Hayo … jadi entrepreneur jangan pura-2 goblok. Entrepreurship itu sudah terstruktur ilmunya. Kamu sudah tahu semua, dan sudah terlalu pintar untuk menjadi entrepreneur …….

sumber : http://mohamadrosihan.blogspot.com

Category: | 0 Comments

Emotional Bank Account (EBA) adalah ilmu lama. Saya sendiri mengetahuinya sejak 1997 ketika belajar Seven Habbits-nya Stephen Covey. EBA adalah salah satu hal penting dalam hubungan antar manusia, apalagi dalam hubungan bisnis.

Mempunyai EBA adalah seperti kita mempunyai rekening deposito di Bank A, dan idealnya kita dapat selalu menambah deposito tersebut. EBA adalah Rekening Bank Kepercayaan yang kita tanamkan ke seseorang dalam suatu hubungan. Intinya adalah, seberapa banyak kita menanamkan rasa percaya orang lain kepada kita, dalam banyak hal.

EBA saya angkat kembali sebagai tulisan disini untuk mengingatkan kita, betapa penting membangun dan menanamkan rasa percaya antar orang per orang dalam suatu komunitas. Kita tidak bisa semena-mena dengan mudah mengatasnamakan komunitas untuk “memaksa” orang lain percaya dengan kita. Apalagi untuk percaya memberikan kemudahan dalam urusan bisnis.

Stephen Covey mengingatkan hal-hal yang sebenarnya kita sudah tahu, tapi mungkin kita lupa melakukannya. Ada beberapa cara menanamkan kepercayaan :

1. Mengenal Individu
Cara kuno mengenal individu adalah silaturrahmi. Silaturahmi yang tampak mata adalah berjabat tangan, membuat janji lebih sering bertemu di waktu luang, dan bisa lebih indah berkunjung kerumah, mengenal secara kekeluargaan. Lupakan cara online disini. Tidak ada emosi yang luar biasa bisa ditanamkan jika kita memulai silaturrahmi dengan cara online. Untuk itu, TDA sangat gencar mengadakan acara offline.

2. Menanamkan kesan yang baik
Ini maksudnya bukan akting, tapi betul-betul menanamkan aura selalu positif kepada orang lain. Ini bisa dimunculkan melalui hal-hal kecil, melalui pembicaraan yang ringan

3. Memenuhi komitmen
Komitmen adalah kata kunci dalam hubungan. Komitmen adalah Janji. Jika kita sudah mengeluarkan komitmen/janji, otomatis orang lain akan mengeluarkan harapan untuk bisa terpenuhi atas janji tersebut. Sekali janji dilanggar, kita telah menarik deposito rasa kepercayaan yang cukup besar. Menilai personal yang selalu mempunyai komitmen tinggi, sangat mudah dilihat dari kegiatan-kegiatan yang non profit. Jika yang non profit aja komitmennya tinggi, biasanya akan lebih komitmennya untuk kegiatan profit.

4. Komunikasi yang terbuka
Selalu mengkomunikasikan segala sesuatu secara terbuka, jujur dan apa adanya. Berbicara secara eksplisit, tanpa pernah ada itikad menyembunyikan sesuatu (implisit), apalagi politiking.

5. Memperlihatkan Intergritas Pribadi
Integritas memiliki definisi deskriptif yang luas. Integritas bisa berarti anda sesuai dengan yang anda katakan, bisa juga berarti kejujuran, bisa berarti tidak bermuka dua, memperlakukan orang lain dengan perangkat prinsip yang sama, tidak melanggar sistem nilai yang dia anut.

6. Meminta maaf, mengkomunikasikan apa yang terjadi
Jika suatu komitmen tidak terpenuhi, kepercayaan masih bisa dipertahankan jika kita bisa mengkomunikasikan apa yang terjadi dengan baik, tentunya diiringi dengan permintaan maaf dan komitmen lanjutan.

Semua diatas sebenarnya sudah kita ketahui, bukan hal baru. Namun kadang kita lupa melakukannya, sehingga banyak buku ditulis ulang untuk sekedar mengingatkan.

Category: | 0 Comments

Mungkin anda pernah lihat, si Engkong yang baru buka toko kelontong eceran di deket rumah. Waktu pertama buka langsung rame, kata orang-2 harganya murah. Si Engkoh memang sengaja pasang harga murah dibanding pesaing disekitarnya yang memang sudah lama jualan. Kata pesaingnya .. “Biasalah … toko baru, lagi cari pelanggan, entar juga balik harga normal”.

Apa Si Engkoh salah ? apa ngga bisa cari nilai tambah ? Waduh … boro-boro nilai tambah. Si Engkoh bisa jualan aja sudah bagus. Sudah modal cekak, ilmu marketing juga ngga jago-2 amat. Apalagi pengalaman punya toko besar, itu baru sebatas mimpi. Tapi apa sih tujuan awal Si Engkoh kok “nilai tambah-nya” main di harga lebih murah ? Apa alasannya

Si Engkoh memang lagi menerapkan apa yang saya istilahkan sebagai Cashflow Tornado, yaitu cara meningkatkan modal dengan menambahkan modal hasil profit di awal bisnis secara terus menerus sampai batas waktu tertentu. Semakin kecil modal, harus semakin kencang perputaran cashflownya. Jadi modal akan terus bertambah, dan tetap diputar lebih kencang. Ini adalah cara kuno pedagang tradisional pekerja keras dalam memulai bisnis. Layaknya angin tornado, lingkaran bagian bawah lebih kecil, berputar lebih cepat, makin keatas makin besar dan putarannya tidak terlalu cepat.

Anda ingin coba ? coba saja segera. Caranya, cari bisnis yang sudah ada, dan memang jelas-jelas rame yang ada disekitar kita. Misal, konter pulsa, perlengkapan motor, warung khusus rokok, dll. Yang pasti dibutuhkan banyak orang sekitar setiap hari. Misal, kita pilih buka warung khusus rokok, mulai rokok kretek sampai rokok putih, komplit.

Apa nilai tambah dari bisnis Warung Rokok ini ? kita cari-cari aja supaya ada. Tapi kita bisa bilang, dibandingkan pesaing sekitar, bahwa nilai tambahnya adalah pelayanan yang prima, tempat nyaman, tampilan etalase rokok yang keren. Dinding warung kita pasang poster iklan rokok dari semua produsen. Kita juga bisa sediakan meja kursi, dan jualan Kopi Gingseng. Pahami kenikmatan para perokok, merokok sambil ngopi enak sekali.

Nilai tambah yang utama adalah semua jenis rokok ada dan selalu tersedia, bisa dibeli satuan, 1/3 atau 1/2 bungkus. Bahkan bisa campur, atau tersedia paket campur yang isinya bisa Ji Sam Soe + Gudang Garam + Sampoerna Mild + Malboro. Boleh juga khan ? asal ngga campur ganja aja. Bisa juga rokok + serbuk kopi, yaitu rokok yang bagian luarnya diolesin endapan kopi lalu dikeringkan. Dan nilai tambah yang paling utama, HARGA ROKOK PALING MURAH !!!

Tapi klo harganya paling murah, berarti untung Warung Rokok ini paling kecil dong … Ya pasti, sudah tahu strategi jualan dengan harga paling murah, ya pasti untungnya paling kecil. Lalu apa strategis-nya bisnis kayak gini ? awalnya kita pasti tidak tahu. Kita maunya Warung Rokok kita langsung rame dan cashflow berputar cepat.

Ternyata setelah kita buka Warung Rokok, dan karena murah, pasti rame, maka tidak kita sangka-sangka kita akan mendapatkan ilmu seperti ini :

· Ilmu 1 : Kita baru tahu kalau profil pelanggan rokok disekitar kita sebagian besar adalah pelanggan papan bawah, artinya beli rokonya eceran, kalau ngga beli satuan, 1/3 atau ½ bungkus. Tapi sehari pasti merokok sekitar 5-12 batang. Dan mereka ini price sensitif. Karena tahu Warung Rokok kita paling murah, dalam waktu 1-2 minggu pelanggan mulai rame.

· Ilmu 2 : Karena kita ramah, kita bisa pelan tapi pasti berhasil mendapatkan gambaran kebutuhan pelanggan atas rokok mereka. Ternyata ada permintaan asesoris sekitar rokok, seperti asbak, korek zippo, dan korek api lainnya. Kita bisa langsung menambahkan item-item yang sebelumnya belum berani kita jual. Ternyata, jualan asesoris perokok ini untungnya bisa 200%. Jadi keuntungan rokok bisa tersubsidi dari jualan asesoris perokok.

· Ilmu 3 : Karena kita ingin mengkomunikasikan nilai tambah kita, maka setiap pelanggan yang datang kita berikan pelayanan terbaik, artinya, kita telah meng-komunikasikan nilai tambah warung rokok kita kepada orang yang tepat. Jika pelanggan makin banyak, kita tentu makin percaya diri menyampaikan nilai tambahnya.

Karena murah dan beberapa nilai tambah, perputaran barang cepat. Cash flow-nya relatif bagus, net profit per bulan selalu ada. Tapi untuk mencapai net profit tersebut, otomatis kita kalang kabut, karena kita harus kulakan rokok ke grosir rokok dan asesoris setiap hari. Kalau tidak kita tidak bisa jualan dengan murah. Tapi demi memutar cash flow, kita harus rela terhanyut dalam Cashflow Tornado.

Cashflow tornado kadang membuat pebisnis pemula merasa capek, tidak bernilai, tidak nyaman dibanding zona nyaman-nya selama ini. Mencari uang kecil aja kok susah, dan kadang dengan mudah men-justifikasi bahwa ini bisnis yang kurang menghasilkan. Padahal yang terpenting sebenarnya bukan hasil jangka pendek, namun proses pembelajaran mengelola dari modal kecil menjadi besar, dan bagaimana kita bisa belajar mendapatkan pelanggan dan mengenali keinginan dan kebutuhan pelanggan dengan tepat dan cepat.

2 tahun kemudian Si Engkoh sudah menjadi Raja Grosir Rokok terbesar di kotanya, dan pesaingnya hanya bisa bilang “gila …murah banget emang jualannya” ….

Kesimpulan :Cashflow Tornado bisa membesarkan modal, sekaligus mengkomunikasikan nilai tambah kepada target yang tepat, dan bisa belajar mendapatkan pelanggan dan mengenali keinginan dan kebutuhan pelanggan dengan tepat dan cepat.

Category: | 0 Comments

“Budaya Tionghoa mengajarkan tidak boleh menunggu tahu segalanya untuk membuka bisnis. Orang Tionghoa juga tidak pernah menunggu paham dan tahu semua hal baru ketika memulai berbisnis. Justru bisnis adalah media belajar, dari TIDAK TAHU menjadi TAHU” (Salim Kartono – dari Buku 5 Jurus Sukses Berbisnis Retail)

Kadang kita sudah terlalu terlena dengan apa yang dinamakan pendidikan formal. Kita seringkali lebih bangga dan lebih rela mengeluarkan ongkos yang sangat mahal untuk membeli pendidikan. Pendidikan formal, kursus, workshop dan lainnya memang bagus, sebagai media pendidikan formal, tetapi bukan media pembelajaran yang riil. Harus ada media pembelajaran lanjutan yang harus dipilih dan dibayar.

Memilih Bisnis sebagai Media Belajar, saya yakini juga sebagai suatu hal yang harus dipilih secara sadar dan wajib, bagi siapapun yang ingin menjadi pewirausaha. Jika ini sudah dipilih, berarti segala konsekuensi, termasuk membayar ongkos belajar-nya, alokasi tenaga, pikiran dan waktu, harus dibayarkan tunai.

Kalau di pendidikan formal kita berjuang keras harus lulus, berarti untuk sekolah disini pun kita harus lebih berjuang lagi. Kalau ngga naik kelas atau ngga lulus kita malu, sehingga harus belajar keras, sama halnya juga, seharusnya kalau kita berbisnis untuk belajar, wajib naik kelas dan lulus.

Dari bisnis riil, kita akan belajar secara langsung untuk memilih, lalu mengambil keputusan. Awalnya lambat, akhirnya kita bisa cepat dalam memilih dan mengambil keputusan. Sedangkan pengalaman dan kemahiran dalam menjalankan roda bisnis, akan berjalan dengan sendirinya seiring berjalannya roda bisnis setiap hari.

Jika kita masih bingung mau bisnis apa, saya rasa tidak ada salahnya memilih bisnis apa saja, yang penting kita sudah punya “sekolah bisnis yang riil”, dan kita punya tanggung jawab untuk berjuang untuk lulus.

Category: | 0 Comments

Saya menyimpulkan ini dari pengalaman dan perenungan cukup dalam. Bisnis sebenarnya adalah soal menepati janji. Janji kepada pelanggan, kepada karyawan, kepada investor, kepada mitra/vendor, kepada masyarakat, kepada keluarga dan diri sendiri.

Kemarin saya mendapat "teguran" dari seorang pelanggan. Ia merasa sebagian haknya belum dipenuhi oleh manajemen Manet. Saya diingatkan lagi dengan janji-janji yang telah kami buat itu.

Ketika bertransaksi dengan pelanggan, kita telah berjanji untuk memberikan mereka produk yang dibeli berikut atribut janji lainnya seperti kualitas, waktu pengiriman, retur, garansi dan sebagainya.

Bisnis akan jatuh tersungkur bila tidak mampu lagi menepati janji-janjinya. Bernie Madoff tersungkur dan terbongkar kedoknya ketika ia tidak lagi mampu men-deliver janjinya kepada investor.

Ketika masih di Tanah Abang dulu, saya menyaksikan sendiri fenomena pengusaha-pengusaha yang jatuh karena tidak menepati janji dengan mitra suppliernya.

Umumnya mereka melakukan transaksi dengan supplier secara kredit. Masalahnya, uang yang seharusnya dibayarkan kepada supplier, diputar dulu ke tempat lain yang tidak semestinya, seperti: membuka bisnis baru, beli rumah, beli mobil dan sebagainya.

Mungkin mereka berpikir bahwa "nasib" supplier ada di tangan mereka. Bargaining position mereka sangat lemah sehingga mau saja dibegitukan.
Mungkin mereka berpikir bahwa janji yang harus ditepati hanyalah kepada pelanggan saja. Itu salah besar. Yang berhak ditepati janjinya adalah semua pihak yang terlibat dalam proses bisnis kita, sekecil apa pun perannya.

Menepati janji ini menjadi begitu berat dan pahit ketika dalam kondisi sulit. Saya ingat sekali tahun 2003 lalu. Tahun yang paling berat dalam perjalanan bisnis Manet.
Di bulan puasa, sehari menjelang keberangkatan saya dan istri untuk merayakan Idul Fitri di tempat mertua di Palembang, saya menongkrongi ATM BCA di Blok F Tanah Abang dengan harap-harap cemas.

Saya sedang menunggu transferan pembayaran dari pelanggan. Ya, saat itu sebagian besar transaksi dengan pelanggan adalah secara piutang.
"Pak, tolong ditransfer berapa pun adanya", demikian pinta saya dengan memelas kepada siapa pun pelanggan yang berutang. Saya harus melunasi utang kepada para supplier di Pekalongan. Kalau uang itu tidak ditransfer, para karyawan mereka tidak dapat berhari raya bersama keluarganya. Pembayaran dari saya adalah "penyambung nyawa" buat mereka.

Masalahnya, kondisi keuangan bisnis kami pun sedang parah sekali. Sama sekali tidak ada uang di rekening kami. Betul. Hanya ada tersisa ongkos untuk naik bis Lorena.
Meski begitu kami tetap menunaikan janji. Gaji karyawan telah dibayarkan berikut THRnya. Utang kepada supplier pun telah dilunasi. Lantas, buat kami sendiri sebagai pemilik bisnis apa yang tersisa? Nothing.

Uangnya memang ada, tapi di tangan pelanggan yang entah kapan akan dibayar. Itu sebuah kesalahan manajemen, saya akui.
Tapi, di balik semua itu, janji telah ditunaikan. Saya berprinsip, menjaga nama baik dan menepati janji itu lebih penting ketimbang keuntungan di tangan dengan mengebiri hak orang lain. Ketika bisnis rugi, pemiliklah yang menanggung risikonya. Jangan dilimpahkan kepada pelanggan, karyawan atau mitra kita.

Bagaimana pendapat anda?

Category: | 0 Comments